Moto


Jangan Menyalahkan, Jangan Beralasan dan Lakukan Action Terbaik

Juni 03, 2014

Perubahan Neurohormonal Saat Kondisi Stres dan Hubungannya Dengan Psikoneuroimunologi


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Para ahli perkembangan dalam penekanan kontinuitas perkembangan (continuity of development) menyatakan bahwa perkembangan individu meliputi perubahan yang dialami secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dari proses pembuahan hingga kematian. Selanjutnya para ahli perkembangan yang lain menekankan diskontinuitas perkembangan (discontinuity of development) yang menyatakan bahwa perkembangan meliputi tahap-tahap yang khas atau memiliki perbedaan dalam masa hidup. Klasifikasi periode perkembangan yang banyak digunakan meliputi urutan periode sebagai berikut: prakelahiran, masa bayi, masa awal anak-anak, masa pertengahan dan akhir anak-anak, masa remaja, masa awal dewasa, masa pertengahan dewasa, dan masa akhir dewasa (Santrock, 1995).
Dalam setiap periode perkembangannya individu akan dihadapkan pada stress dan ketegangan, serta masalah-masalah sesuai dengan kekhasan masing-masing periode (Santrock, 1995). Erik Erikson (1902-1994) yang merupakan salah satu pencetus teori perkembangan manusia- psikososial- mendukung anggapan bahwa perkembangan manusia terjadi sepanjang siklus kehidupan. Delapan tahap perkembangan psikososial, Erikson menyatakan bahwa dalam masing-masing tahap perkembangan terdiri dari tugas perkembangan khas yang menghadapkan individu pada krisis yang dihadapi. Krisis dalam pengertian Erikson adalah suatu titik balik yang dianggap mampu meningkatkan potensi. Saat individu berhasil mengatasi krisis maka akan semakin sehat perkembangan mereka (Santrock, 1995).
Secara garis besar perkembangan manusia terbagi menjadi tiga masa yakni: anak-anak, remaja, dan dewasa. Masa anak-anak yang terbagi menjadi awal anak-anak serta pertengahan dan akhir anak-anak terentang dari usia 5-11 tahun merupakan suatu periode dimana anak menampilkan kemandirian, banyak bermain dengan teman sebaya dan budaya. Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak hingga awal dewasa yang terentang dari usia 18-22 tahun, dengan ditandai dengan perubahan fisik, pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol, serta banyak meluangkan waktu bersama dengan sebayanya. Tahap selanjutnya adalah dewasa yang terbagi menjadi dewasa awal, pertengahan dan akhir. Pada masa dewasa ini merupakan masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, karir, dan pasangan (Santrock, 1995).
Berkenaan dengan tugas perkembangan remaja mengenai pasangan, rupanya hubungan dengan lawan jenis juga dapat menimbulkan suatu stress tersendiri bagi remaja. Jatuh cinta pada remaja dianggap sebagai suatu fase atau moment tersendiri yang digambarkan sebagai suatu keadaan yang menyenangkan, namun dibalik dari kesenangan dan perasan yang gembira, intepretasi kegembiraan yang terkadang respon fisiologisnya dapat menyerupai orang yang sedang mengalami stres maka keadaan jatuh cinta pada remaja dapat digolongkan sebagai stres yang berdampak positif bagi individu yang bersangkutan.
Stres adalah topik yang banyak dijumlai sebagai penelitian atau sebagai bahan diskusi akhir-akhir ini. Banyaknya masalah dan kejadian yang terjadi di masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab dari stres yang banyak dialami orang. Kehidupan kota seringkali dinyatakan sebagai suatu stimulus yang memicu adanya stres. Kota dan masyarakatnya tak henti-hentinya menghadapai masalah, masalah komunitas kota dan tata lingkungan perkotaan membuat individu yang menjadi bagian didalamnya turut mengalami dampak dan akhirnya merespon permasalahan tersebut.
Dalam pengertiannya stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada suatu peristiwa atau keadaan yang mereka rasakan sebagai suatu hal yang mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa atau keadaan yang dirasa mengancam ini dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres. Terlihat dari pengertian diatas, stress nampaknya adalah suatu keadaan yang bermuatan negatif, namun sebenarnya stres sendiri tidak hanya dimaknakan sebagai hal yang negatif saja, suatu keadaan yang menyenangkanpun dapat menjadi pemicu stres bagi seseorang. Beberapa permasalahan perkotaan yang dapat menimbulkan stres bagi individu sebagai anggota komunitas kota antara lain: kepadatan penduduk, tingkat kriminalitas, perekonomian yang tidak stabil, dan adanya keinginan pemenuhan kebutuhan yang terhalang dan banyak masalah lainnya.
Hartono (2002) menjelaskan kondisi stres yang juga dipengaruhi oleh emosi terdiri dari respon perilaku, otonom dan hormonal. Respon otonom dan hormonal banyak disebut sebagai penyebab seseorang memiliki keehatan yang buruk. Sedangkan respon perilaku selalu dihubungkan dengan tindakan yang mengikuti sebagai respon dari stres tersebut. Keadaan yang ”mengancam” atau membuat seseorang tidak nyaman membuat adrenal gland mensekresi norephineprin, epinephrinedan hormon steroid. Sedangkan saraf otonom mengeluarkan atau menghasilkan mengeluarkan senyawa yang memberikan pengaruh sama dengan produk adrenal gland. Saat seseorang mengalami keadaan stres tubuh akan memberikan tanda bahaya, yang selanjutnya tubuh akan merespon dengan reaksi biokimia yang terjadi didalam tubuh. Adanya pengaruh reaksi biokimia didalam tubuh, stres yang parah atau keadaan stres yang parah mampu membuat seseorang mengalami perubahan fungsi tubuh normal yang nantinya akan berakibat negatif bagi individu atau orang tersebut.
Beberapa keadaan atau penyakit yang banyak dinyatakan sebagai akibat dari terjadinya stres antara lain: penyakit jantung,stroke, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada permukaan dalam dinding saluran pencernaan (tukak lambung misalnya) , penyakit pernapasan (asma), eksim, masalah menstruasi pada wanita, sakit kepala dan lain-lain. Sebenarnya respon emosi kita berevolusi karena memiliki manfaat dan sifatnya adaptif, namun faktanya daat merugikan kesehatan, hal ini terjadi karena respon emosi pada diri seseorang didesain atau dibuat untuk menghadapi persoalan jangka pendek. Menurut Walter Cannon, flight or fight dinyatakan sebagai respon fisiologis individu untuk menghadapi keadaan yang membuat tidak nyaman ini. Namun apabila situasi yang ”mengancam” ini bersifat terus menerus dan berkepanjangan maka akan menimbulkan stres respon yang berkepanjangan.
Tidak semua orang bereaksi sama tehadap suatu respon. Banyak terjadi, suatu stimulus yang sama (keadaan atau situasi) direspon berbeda oleh dua orang. Misalnya situasi presentasi didepanaudience yang baru dikenal, bagi beberapa orang itu adalah keadaan atau pengalaman yang mampu membuatnya stres karena ia menyatakan keadaan tersebut adalah ”mengancam” baginya. Namun pada orang kedua presentasi adalah ”tantangan”, dan adanya anggapan sebagai waktu untuk menunjukkan diri. Respon terhadap stresor yang seperti ini dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang terhadap stresor.
Pada awal tahun 1950-an beberapa ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku dengan sistem kekebalan tubuh (imunitas). Salah satu topik yang menarik dari penelitian dan amatan tersebut adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh (imunitas). Berkembangnya penelitian tentang hubungan antara perilaku, saraf, fungsi endokrin dan imunitas mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi.
Rumusan masalah
Stres dan perubahan neurohormonal pada remaja pada fenomena “jatuh cinta” sebagai stres berdampak positif (eustress) dapat meningkatkan imunitas.
Tujuan
Memberikan uraian tentang mekanisme biologis terjadinya stres positif pada fenomena “jatuh cinta” pada remaja yang bertujuan sebagai pengetahuan.
Manfaat
Sebagai ilmu pengetahuan bagi pembaca akan mekanisme biologis pada fenomena “jatuh cinta”. Selain itu manfaat lain adalah sebagai penambah pengetahuan akan adanya dampak positif dari fenomena ‘jatuh cinta” yang diangkat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Stres
Stres adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami keteganggan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi diri, kondisi-kondisi tersebut dapat dipengaruhi dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Secara garis besar terdapat dua buah sudut pandang dalam memaknai stres yaitu stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus. Sudut pandang yang memaknai stres yaitu: psikologi, biologis, dan rekayasa.
Cox (sitat dalam Putra & Asnar, 2005) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang tidak harus memiliki konsekuensi kondisi yang patologis. Beberapa orang mampu merespon sumber stres secara psikologis dan fisiologis sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan dan menantang. Terdapat tiga buah pendekatan yang digunakan untuk memaknakan istilah stres yakni: (1) pendekatan rekayasa, (2) pendekatan medikofisiologis, (3) pendekatan psikologis.
Pendekatan rekayasa memandang stres sebagai gambaran karakteristik stimulus yang ada di lingkungan hidup yang tidak menyenangkan atau merusak. Secara keseluruhan pendekatan rekayasa ini menitik beratkan pada suatu keadaan yang tidak kondusif bagi makhluk hidup, dan istilah stres digunakan sebagai penyebab atau stimulus yang mengakibatkan reaksi yang menegangkan dan tidak menyenangkan (Cox, sitat dalam Putra & Asnar, 2005).
Pendekatan yang kedua adalah medikofisiologis yang diperkenalkan oleh Hans Selye, menurutnya stres adalah suatu kondisi yang ditunjukkan oleh sindrom yang spesifik. Secara keseluruhan stres dijelaskan menurut pendekatan ini sebagai kondisi spesifik yang didasarkan atas perubahan biologis yang tidak spesifik. Hans Selye sendiri memaknakan stres sebagai perubahan biologis (Cox, sitat dalam Putra & Asnar, 2005)
Pendekatan ketiga adalah pendekatan psikologis yang digambarkan sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan di sekitarnya yang dalam prosesnya melibatkan unsur kognisi dan emosi. Kognisi dikaitkan dengan adanya pemahaman hasil belajar dari pengalaman, sedangkan emosi adalah cerminan perasaan individu (Cox, sitat dalam Putra & Asnar, 2005).
Keith Davis (sitat dalam Ulhaq, n.d) mengemukakan bahwa stres adalah suatu kondisi tegang yang mempengaruhi emosi, pemrosesan pikiran, dan konsisi fisik seseorang. Robbin (sitat dalam Ulhaq, n.d) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dinamis dimana seseorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constrain) atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang dihasilkan dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Menurut Vincent Cornelli dalam Anwar (sitat dalam Ulhaq, n.d) mendefinisikan stres sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Stres dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan penampilan individu dalam lingkungan tersebut.
Selye (sitat dalam Ulhaq, n.d) membagi stres menjadi dua macam, yaitu stres negatif biasa disebut distres dan stres positif atau biasa disebut eustres. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu stimulus yang berupa tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikologi individu dimana tekanan atau stimulus tersebut dapat berasal dari luar individu. Sedangkan menurut Richard Lazarus dalam Anwar (sitat dalam Ulhaq, n.d) menyatakan bahwa stres yang bersifat psikologis adalah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuannya dan membahayakan kesejahteraannya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu keadaan yang terjadi pada seseorang akibat hubungannya dengan lingkungan sebagai stimulus yang kemudian di respon dengan terlebih dahulu terdapat proses kognitif dalam pemaknaan sehingga terjadilah kondisi stres sebagai respon.
1.2. Sumber-Sumber Stress
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi individu berada pada kondisi stres yakni faktor eksternal dan faktor internal. Sumber stres yang disebut juga stresor adalah suatu rangsangan yang dipersepsikan sebagai suatu ancaman dan menimbulkan perasaan negatif. Faktor internal lebih dikenal atau akrab dengan bagaimana kepribadian, kebiasaan, pengalaman dan persepsi individu sepanjang hidupnya.
Banyak hal atau konteks yang dapat menyebabkan timbulnya stres, misalnya: pekerjaan, adaptasi, atau masa seorang remaja tumbuh dewasa, adanya permasalahan antara diri dengan orang lain, trauma terhadap sesuatu hal, yang menyebabkan apabila teringat kembali pada kejadian buruk atau trauma bisa menimbulkan tekanan pada diri (Lingga, 2006).
Menurut Handoko (sitat dalam Ulhaq, n.d) reaksi orang yang dapat menyebabkan stres antara lain: Mereka yang agresif, kompetitif, memiliki standar yang tinggi dan terkadang memiliki tuntutan yang terlalu tinggi pada diri untuk suatu tujuan peminimalan waktu rekreasi dan bersenang-senang.
Girdano (2005) dalam allaboutstress.com membagi stresor menjadi 4 yaitu: (1) biekological, (2) psikososial, (3) sumber stres pekerjaan, (4) tipe kepribadian dan cara berpikir.
2. Remaja
Secara garis besar perkembangan manusia terbagi menjadi tiga masa yakni: anak-anak, remaja, dan dewasa. Masa anak-anak yang terbagi menjadi awal anak-anak serta pertengahan dan akhir anak-anak terentang dari usia 5-11 tahun merupakan suatu periode dimana anak menampilkan kemandirian, banyak bermain dengan teman sebaya dan budaya. Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak hingga awal dewasa yang terentang dari usia 18-22 tahun, dengan ditandai dengan perubahan fisik, pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol, serta banyak meluangkan waktu bersama dengan sebayanya. Tahap selanjutnya adalah dewasa yang terbagi menjadi dewasa awal, pertengahan dan akhir. Pada masa dewasa ini merupakan masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, karir, dan pasangan (Santrock, 1995).
Bagi kebanyakan orang yang sedang menuju masa dewasa serta dalam tahap perkembangan dewasa menyatakan bahwa masa remaja adalah waktu atau suatu fase yang paling berkesan sepanjang hidup mereka.  Segala kenangan baik menyenangkan maupun tidak dijadikan sebagai kenangan yang tidak mudah untuk dilupakan (Setiono, 2002). Masa remaja dianggap sebagai masa dimana individu mengalami perasaan tidak aman (feeling of insecurity), perubahan suasana hati, serta adanya tekanan dari teman sebaya, keluarga dan masyarakat sekitar, namun pada masa remaja pula mereka mengembangkan persepsi yang positif tentang diri, perasaan mampu, relasi postif dengan keluarga dan teman, serta pandangan optimistik pada masa depan (Santrock, 1995).
Hall (sitat dalam Santrock 1995) menyatakan pandangan badai dan stress (storm and stress view) bahwa masa remaja merupakan pergolakan yang penuh dengan konflik dan suasana hati. Setiono (2002) menyatakan bahwa masalah remaja mencakup dari beberapa dimensi seperti: dimensi kognitif, moral, psikologis dan sosial.
3. Jatuh Cinta
Jatuh cinta didefinisikan oleh (samodra dalamhttp://www.allaboutstress.com ) sebagai sebuah rasa atau perasaan yang dimiliki seseorang ketika melihat seseorang lain yang berbeda jenis kelamin dengannya yang mampu menarik perhatiannya. Bila keduanya cocok maka relasi diantara keduanya akan terbentuk.
Jatuh cinta tidak hanya merupakan suatu respon perilaku saja, respon biologis juga berpengaruh dan memiliki andil didalamnya. Dinyatakan sederhana oleh (Samodra dalam http://www.allaboutstress.com ) sebagai proses dimana tubuh memproduksi suatu zat-zat yang dianggap mampu membius otak sehingga efeknya dapat disamakan dengan narkoba. Zat tertentu itu dinamakan feromon.
Feromon adalah zat kimia yang didapat dari kelenjar endokrin yang digunakan makhluk hidup sebagai pengenal sesama jenis, kelompok, individu lain dalam perannya membantu proses reproduksi. Sedangkan feromon sendiri merupakan sinyal kimia yang ada di udara yang tidak dapat dideteksi dengan bau namun dapat dirasakan dengan VMO atau alat bantu penciuman yang terletak didalam hidung. Sinyal feromon ini diterima oleh otak dibagian hipotalamus. Di dalam hipotalamuslah sinyal tersebut diproses dan terjadi perubahan hormon yang dapat menghasilkan respon perilaku dan fisiologis (Samodra dalamhttp://www.allaboutstress.com ).
Efek yang terjadi adalah membuat seseorang selalu ingin bertemu dengan pasangannya sesering mungkin dan inilah yang disebut Samodra dalam http://www.allaboutstress.com , sebagai reaksi diri terhadap stressor. Dalam setiap reaksi menimbulkan perubahan, perubahan lain yang terjadi antara lain peubahan pola makan, pola pikir, perbedaan detak jantung dan juga nafas.
4. Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi berasal dari tiga buah disiplin ilmu yakni psikologi, neurologi, dan imunologi. Dari ketiga disiplin ilmu ini, psikoneuroimunologi dipahami sebagai gabungan dari ketiga disiplin ilmu sehingga mewakili setiap paradigma ilmu tersebut. Psikoneuroimunologi merupakan ilmu yang mencoba untuk memahami sistem imun yang ada dalam diri manusia, sistem syaraf dan psikologis atau jiwa manusia. Robert Ader adalah tokoh yang mempopulerkan istilah Psikoneuroimunologi pada tahun 1975 dan baru bisa diterima pada tahun 2001 sebagai suatu istilah yang ilmiah di bidang imunologi.
Ader (sitat dalam Putra & Asnar, 2005) menyatakan bahwa psikoneuroimunologi berfokus pada imunoregulasi yang awalnya dipahami sebagai sesuatu yang otonom, namun setelah dilakukan banyak penelitian menemukan bahwa ternyata imunoregulasi tidak otonom karena selalu dipengaruhi oleh kinerja otak.
BAB III
METODE
Tema dalam penelitian ini adalah perubahan neurohormonal dengan psikoneuroimunologi, namun penulis ingin mengaitkan perubahan neurohormonal tersebut dengan suatu keadaan yang dialami oleh seorang dalam usia perkembangan dewasa yang dengan karakteristiknya baik secara fisik maupun biologis mengalami perubahan. Fenomena yang diambil adalah tentang tugas perkembangan remaja mengenai menjalin relasi intim (teori psikososial, Erikson) yang selama ini dikaitkan dengan keadaan yang dirasakan atau dialami saat menjalin relasi tersebut yakni “jatuh cinta”.
Adapun kaitannya adalah, jatuh cinta adalah adanya aspek biologis yang berperan saat seseorang mengalami jatuh cinta sehingga menyebabkan terjadinya efek atau proses dalam neurohormonal dalam tubuh individu, dimana aspek biologis atau keadaan biologis dalam tubuh ini adalah respon yang sama terhadap suatu stimulus.
Dalam setiap perubahan yang terjadi pada individu berarti akan membuat seseorang tersebut mengalami proses adaptasi adanya perasaan yang kurang nyaman akan perubahan yang terjadi, inilah yang diistilahkan sebagai stres karena perubahan neurohormonal dalam penelitian ini.
BAB IV
HASIL
Adanya perubahan pada diri akibat stimulus dari luar baik yang disadari maupun tidak disadari dapat mempengaruhi sistem yang ada di luar dan didalam tubuh berubah. Beberapa reaksi yang muncul pada saat seseorang jatuh cinta dianggap menyerupai saat kita berada pada saat kondisi stres. Beberapa reaksi itu antara lain:
respon otot dikaitkan dengan pada saat kita mengalami jatuh cinta kebanyakan wajah akan memunculkan ekspresi gembira yang diperlihatkan dari gerakan otot wajah tertawa, tersenyum dan bahagia.
Respon jantung dikaitkan dengan pada saat seseorang bertemu dengan pasangannya yang berdegup kencang saat betatap muka.
Respon kulit dikaitkan dengan kulit sebagai media untuk mengeluarkan atau menyebarkan feromon, selain itu keringan juga fungsinya sebagai media yang mengeluarkan keringat. Kelenjar keringat yang terstimulasi untuk menghasilakan keringat saat adanya perasaan grogi saat bertemu dengan pasangan (Girdano, sitat dalam Samodra, n.d).
Menurut penelitian helen fisher dkk (sitat dalam Samodra, n.d) menyatakan bahwa selain respon perubahan biologis, perubahan pola makan dan istirahat juga mengalami perubahan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa saat seseorang bertemu dengan pasangannya dopamin akan merangsang bagian ventral tegmental dan caudate nucleus di otak menyala. Dalam dosis yang tepat dopamin mampu mampu menciptakan kegembiraan, kekuatan sehingga dengan keadaan demikian seseorang akan bisa selalu merasakan cukup akan kebutuhan makan dan istirahat. Pada beberapa artikel yang lain juga menyatakan bahwa pada saat seseorang jatuh cinta orang yang terobsesi dengan pasangannya kadar serotonin dapat menurun atau lebih rendah daripada serotonin pada orang normal. Serotonin yang rendah dihubungkan dengan perilaku agresi, impulsi dan bunuh diri. Keadaan ini berkembang dengan kecenderungan perilaku terlalu bergembira, kurang peka terhadap sekitar dan keadaan ini terjadi secara spontan.
Keadaan “jatuh cinta” ini dianggap sebagai stres yang memilki makna ganda pada individu yakni positif dan negatif. Namun jika dilihat dari sisi psikologis timbulnya perasaan gembira, senang dan menjauhkan dari pikiran negatif efek dari keadaan ini merupakan efek yang positif. Oleh karena adanya dua efek yakni positif dan negatif, hendaknya kedua efek ini berada pada jalur yang seimbang dengan cara memanagenya agar tidak terlalu berlebihan atau malah kekurangan.
BAB V
PEMBAHASAN
Keadaan “jatuh cinta” yang dialami oleh individu sesuai dengan persepsi dapat dimaknakan sebagai sesuatu yang positif maupun negatif adalah tergantung dari individu. Pemaknaan yang postif akan kejadian ini akan membuat seseorang memiliki respon biologi yang mengarah pada penjagaan kondisi tubuh dan imunitas yang meningkat. Segala respon yang dimunculkan akibat stimulus dari lingkungan ini dipersepsi sebagai sesuatu yang positif, sehingga perasaan diri 9dilihat dari aspek psikologi) menjadi postif dan bahagia. Keadaan bahagian ini dalam psikoneuroimunologi dipercaya mempunyai dampak meningkatkan sistem imun dalam tubuh kita. Dengan meningkatnya sistem imun ini maka dihubungkan dengan kesehatan individu akan terjaga baik dengan kondisi fisik yang sehat.
Bila individu ada yang memaknakan keadaan jatuh cinta sebagai keadaan yang positif dan menyenangkan tidak menutup kemungkinan beberapa orang juga baranggapan keadaan “jatuh cinta” merupakan suatu keadaan yang menekan dan menimbulkan efek tersendiri bagi individu tersebut. Sehingga dalam respon biologisnya banyak berefek yang kurang baik bagi tubuh, keadaan menekan, dan berdampak negatif pada tubuh ini dalam psikoneuroimunologi dipercaya dapat menurunkan sistem imun atau imunitas dalam tubuh menurun. Dengan menurunnya sistem imun ini, maka kesehatan individu adalah suatu bagian yang perlu diperhatikan akan rentannnya terserang sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, S. (2002). Psikologi Faal II. Surabaya: UNESA University Press
Lingga. (2006). Stres membuat dinamika dalam hidup. Diunduh tanggal 30 April 2008 dari http://www.percikan-iman.com/mapi/index.php?option=content&task=view&id=239&Itemid=64
Putra, S. T., & Asnar, E. S. T. P. (2005). Psikoneuroimunologi kedokteran : Perkembangan konsep stress dan penggunaannya dalam paradigma psikoneuroimunologi. (Suhartono Taat Putra, editor). Surabaya: GRAMIK
Samodra, R. (n.d). Stress!! I’m in love. Diunduh tanggal 30 April 2008, dari http://all-about-stress.com/
Santrock, J.W. (1995). Live span development. Perkembangan masa hidup. (Achmad Chusairi, pengalih bahasa). Jakarta: Erlangga
Ulhaq, M.Z. (n.d). Hubungan stress kerja dengan prestasi kerja. Diunduh tanggak 30 April 2008, dari http://bsf.bawean.info/bsf/?p=28/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar