BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Para ahli
perkembangan dalam penekanan kontinuitas perkembangan (continuity of
development)
menyatakan bahwa perkembangan individu meliputi perubahan yang dialami secara
berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dari proses pembuahan hingga kematian.
Selanjutnya para ahli perkembangan yang lain menekankan diskontinuitas perkembangan
(discontinuity
of development)
yang menyatakan bahwa perkembangan meliputi tahap-tahap yang khas atau memiliki
perbedaan dalam masa hidup. Klasifikasi periode perkembangan yang banyak
digunakan meliputi urutan periode sebagai berikut: prakelahiran, masa bayi,
masa awal anak-anak, masa pertengahan dan akhir anak-anak, masa remaja, masa
awal dewasa, masa pertengahan dewasa, dan masa akhir dewasa (Santrock, 1995).
Dalam setiap
periode perkembangannya individu akan dihadapkan pada stress dan ketegangan,
serta masalah-masalah sesuai dengan kekhasan masing-masing periode (Santrock,
1995). Erik Erikson (1902-1994) yang merupakan salah satu pencetus teori
perkembangan manusia- psikososial- mendukung anggapan bahwa perkembangan
manusia terjadi sepanjang siklus kehidupan. Delapan tahap perkembangan
psikososial, Erikson menyatakan bahwa dalam masing-masing tahap perkembangan
terdiri dari tugas perkembangan khas yang menghadapkan individu pada krisis
yang dihadapi. Krisis dalam pengertian Erikson adalah suatu titik balik yang
dianggap mampu meningkatkan potensi. Saat individu berhasil mengatasi krisis
maka akan semakin sehat perkembangan mereka (Santrock, 1995).
Secara garis
besar perkembangan manusia terbagi menjadi tiga masa yakni: anak-anak, remaja,
dan dewasa. Masa anak-anak yang terbagi menjadi awal anak-anak serta
pertengahan dan akhir anak-anak terentang dari usia 5-11 tahun merupakan suatu
periode dimana anak menampilkan kemandirian, banyak bermain dengan teman sebaya
dan budaya. Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak hingga awal
dewasa yang terentang dari usia 18-22 tahun, dengan ditandai dengan perubahan
fisik, pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol, serta banyak
meluangkan waktu bersama dengan sebayanya. Tahap selanjutnya adalah dewasa yang
terbagi menjadi dewasa awal, pertengahan dan akhir. Pada masa dewasa ini
merupakan masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, karir, dan pasangan
(Santrock, 1995).
Berkenaan dengan
tugas perkembangan remaja mengenai pasangan, rupanya hubungan dengan lawan
jenis juga dapat menimbulkan suatu stress tersendiri bagi remaja. Jatuh cinta
pada remaja dianggap sebagai suatu fase atau moment tersendiri yang digambarkan
sebagai suatu keadaan yang menyenangkan, namun dibalik dari kesenangan dan
perasan yang gembira, intepretasi kegembiraan yang terkadang respon
fisiologisnya dapat menyerupai orang yang sedang mengalami stres maka keadaan
jatuh cinta pada remaja dapat digolongkan sebagai stres yang berdampak positif
bagi individu yang bersangkutan.
Stres adalah
topik yang banyak dijumlai sebagai penelitian atau sebagai bahan diskusi
akhir-akhir ini. Banyaknya masalah dan kejadian yang terjadi di masyarakat
dianggap sebagai salah satu penyebab dari stres yang banyak dialami orang.
Kehidupan kota seringkali dinyatakan sebagai suatu stimulus yang memicu adanya
stres. Kota dan masyarakatnya tak henti-hentinya menghadapai masalah, masalah
komunitas kota dan tata lingkungan perkotaan membuat individu yang menjadi
bagian didalamnya turut mengalami dampak dan akhirnya merespon permasalahan
tersebut.
Dalam
pengertiannya stres terjadi jika
seseorang dihadapkan pada suatu peristiwa atau keadaan yang mereka rasakan
sebagai suatu hal yang mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa
atau keadaan yang dirasa mengancam ini dinamakan stresor, dan reaksi orang
terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres. Terlihat dari pengertian
diatas, stress nampaknya adalah suatu keadaan yang bermuatan negatif, namun
sebenarnya stres sendiri tidak hanya dimaknakan sebagai hal yang negatif saja,
suatu keadaan yang menyenangkanpun dapat menjadi pemicu stres bagi seseorang.
Beberapa permasalahan perkotaan yang dapat menimbulkan stres bagi individu
sebagai anggota komunitas kota antara lain: kepadatan penduduk, tingkat
kriminalitas, perekonomian yang tidak stabil, dan adanya keinginan pemenuhan
kebutuhan yang terhalang dan banyak masalah lainnya.
Hartono (2002) menjelaskan kondisi stres yang juga
dipengaruhi oleh emosi terdiri dari respon perilaku, otonom dan hormonal.
Respon otonom dan hormonal banyak disebut sebagai penyebab seseorang memiliki
keehatan yang buruk. Sedangkan respon perilaku selalu dihubungkan dengan
tindakan yang mengikuti sebagai respon dari stres tersebut. Keadaan yang
”mengancam” atau membuat seseorang tidak nyaman membuat adrenal gland
mensekresi norephineprin, epinephrinedan hormon steroid. Sedangkan saraf otonom
mengeluarkan atau menghasilkan mengeluarkan senyawa yang memberikan pengaruh
sama dengan produk adrenal gland. Saat seseorang mengalami keadaan stres tubuh
akan memberikan tanda bahaya, yang selanjutnya tubuh akan merespon dengan
reaksi biokimia yang terjadi didalam tubuh. Adanya pengaruh reaksi biokimia
didalam tubuh, stres yang parah atau keadaan stres yang parah mampu membuat
seseorang mengalami perubahan fungsi tubuh normal yang nantinya akan berakibat
negatif bagi individu atau orang tersebut.
Beberapa keadaan atau penyakit yang banyak dinyatakan
sebagai akibat dari terjadinya stres antara lain: penyakit jantung,stroke,
tekanan darah tinggi, kanker, luka pada permukaan dalam dinding saluran
pencernaan (tukak lambung misalnya) , penyakit pernapasan (asma), eksim,
masalah menstruasi pada wanita, sakit kepala dan lain-lain. Sebenarnya respon
emosi kita berevolusi karena memiliki manfaat dan sifatnya adaptif, namun
faktanya daat merugikan kesehatan, hal ini terjadi karena respon emosi pada
diri seseorang didesain atau dibuat untuk menghadapi persoalan jangka pendek.
Menurut Walter Cannon, flight or fight dinyatakan sebagai respon fisiologis individu
untuk menghadapi keadaan yang membuat tidak nyaman ini. Namun apabila situasi
yang ”mengancam” ini bersifat terus menerus dan berkepanjangan maka akan
menimbulkan stres respon yang berkepanjangan.
Tidak semua orang bereaksi sama tehadap suatu respon.
Banyak terjadi, suatu stimulus yang sama (keadaan atau situasi) direspon
berbeda oleh dua orang. Misalnya situasi presentasi didepanaudience yang baru dikenal,
bagi beberapa orang itu adalah keadaan atau pengalaman yang mampu membuatnya
stres karena ia menyatakan keadaan tersebut adalah ”mengancam” baginya. Namun
pada orang kedua presentasi adalah ”tantangan”, dan adanya anggapan sebagai
waktu untuk menunjukkan diri. Respon terhadap stresor yang seperti ini
dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang terhadap stresor.
Pada awal tahun 1950-an beberapa ahli perilaku
mempelajari hubungan perilaku dengan sistem kekebalan tubuh (imunitas). Salah satu topik yang menarik dari penelitian
dan amatan tersebut adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh
(imunitas). Berkembangnya penelitian tentang hubungan antara perilaku, saraf,
fungsi endokrin dan imunitas mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi.
Rumusan masalah
Stres dan
perubahan neurohormonal pada remaja pada fenomena “jatuh cinta” sebagai stres
berdampak positif (eustress) dapat meningkatkan imunitas.
Tujuan
Memberikan
uraian tentang mekanisme biologis terjadinya stres positif pada fenomena “jatuh
cinta” pada remaja yang bertujuan sebagai pengetahuan.
Manfaat
Sebagai ilmu
pengetahuan bagi pembaca akan mekanisme biologis pada fenomena “jatuh cinta”.
Selain itu manfaat lain adalah sebagai penambah pengetahuan akan adanya dampak
positif dari fenomena ‘jatuh cinta” yang diangkat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Stres
Stres adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami keteganggan karena adanya kondisi-kondisi
yang mempengaruhi diri, kondisi-kondisi tersebut dapat dipengaruhi dari dalam
maupun dari luar diri seseorang. Secara garis besar terdapat dua buah sudut
pandang dalam memaknai stres yaitu stres sebagai respon dan stres sebagai
stimulus. Sudut pandang yang memaknai stres yaitu: psikologi, biologis, dan
rekayasa.
Cox (sitat dalam
Putra & Asnar, 2005) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang tidak
harus memiliki konsekuensi kondisi yang patologis. Beberapa orang mampu
merespon sumber stres secara psikologis dan fisiologis sebagai suatu pengalaman
yang menyenangkan dan menantang. Terdapat tiga buah pendekatan yang digunakan
untuk memaknakan istilah stres yakni: (1) pendekatan rekayasa, (2) pendekatan
medikofisiologis, (3) pendekatan psikologis.
Pendekatan
rekayasa memandang stres sebagai gambaran karakteristik stimulus yang ada di
lingkungan hidup yang tidak menyenangkan atau merusak. Secara keseluruhan
pendekatan rekayasa ini menitik beratkan pada suatu keadaan yang tidak kondusif
bagi makhluk hidup, dan istilah stres digunakan sebagai penyebab atau stimulus
yang mengakibatkan reaksi yang menegangkan dan tidak menyenangkan (Cox, sitat
dalam Putra & Asnar, 2005).
Pendekatan yang
kedua adalah medikofisiologis yang diperkenalkan oleh Hans Selye, menurutnya
stres adalah suatu kondisi yang ditunjukkan oleh sindrom yang spesifik. Secara
keseluruhan stres dijelaskan menurut pendekatan ini sebagai kondisi spesifik
yang didasarkan atas perubahan biologis yang tidak spesifik. Hans Selye sendiri
memaknakan stres sebagai perubahan biologis (Cox, sitat dalam Putra &
Asnar, 2005)
Pendekatan
ketiga adalah pendekatan psikologis yang digambarkan sebagai hasil interaksi
antara individu dengan lingkungan di sekitarnya yang dalam prosesnya melibatkan
unsur kognisi dan emosi. Kognisi dikaitkan dengan adanya pemahaman hasil
belajar dari pengalaman, sedangkan emosi adalah cerminan perasaan individu
(Cox, sitat dalam Putra & Asnar, 2005).
Keith Davis
(sitat dalam Ulhaq, n.d) mengemukakan bahwa stres adalah suatu kondisi tegang
yang mempengaruhi emosi, pemrosesan pikiran, dan konsisi fisik seseorang.
Robbin (sitat dalam Ulhaq, n.d) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi
dinamis dimana seseorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang,
kendala (constrain) atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang
sangat diinginkannya dan yang dihasilkan dipersepsikan sebagai tidak pasti dan
penting. Menurut Vincent Cornelli dalam Anwar (sitat dalam Ulhaq, n.d)
mendefinisikan stres sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan
oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Stres dapat dipengaruhi oleh lingkungan
dan penampilan individu dalam lingkungan tersebut.
Selye (sitat
dalam Ulhaq, n.d) membagi stres menjadi dua macam, yaitu stres negatif biasa
disebut distres dan stres positif atau biasa disebut eustres. Dengan demikian
secara umum dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu stimulus yang berupa
tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikologi individu dimana
tekanan atau stimulus tersebut dapat berasal dari luar individu. Sedangkan
menurut Richard Lazarus dalam Anwar (sitat dalam Ulhaq, n.d) menyatakan bahwa
stres yang bersifat psikologis adalah hubungan khusus antara seseorang dengan
lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuannya dan membahayakan
kesejahteraannya.
Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu keadaan yang terjadi
pada seseorang akibat hubungannya dengan lingkungan sebagai stimulus yang
kemudian di respon dengan terlebih dahulu terdapat proses kognitif dalam
pemaknaan sehingga terjadilah kondisi stres sebagai respon.
1.2.
Sumber-Sumber Stress
Terdapat dua
faktor yang mempengaruhi individu berada pada kondisi stres yakni faktor
eksternal dan faktor internal. Sumber stres yang disebut juga stresor adalah
suatu rangsangan yang dipersepsikan sebagai suatu ancaman dan menimbulkan
perasaan negatif. Faktor internal lebih dikenal atau akrab dengan bagaimana
kepribadian, kebiasaan, pengalaman dan persepsi individu sepanjang hidupnya.
Banyak hal atau
konteks yang dapat menyebabkan timbulnya stres, misalnya: pekerjaan, adaptasi,
atau masa seorang remaja tumbuh dewasa, adanya permasalahan antara diri dengan
orang lain, trauma terhadap sesuatu hal, yang menyebabkan apabila teringat
kembali pada kejadian buruk atau trauma bisa menimbulkan tekanan pada diri
(Lingga, 2006).
Menurut Handoko
(sitat dalam Ulhaq, n.d) reaksi orang yang dapat menyebabkan stres antara lain:
Mereka yang agresif, kompetitif, memiliki standar yang tinggi dan terkadang
memiliki tuntutan yang terlalu tinggi pada diri untuk suatu tujuan peminimalan
waktu rekreasi dan bersenang-senang.
Girdano (2005)
dalam allaboutstress.com membagi stresor menjadi 4 yaitu: (1) biekological, (2)
psikososial, (3) sumber stres pekerjaan, (4) tipe kepribadian dan cara
berpikir.
2. Remaja
Secara garis
besar perkembangan manusia terbagi menjadi tiga masa yakni: anak-anak, remaja,
dan dewasa. Masa anak-anak yang terbagi menjadi awal anak-anak serta
pertengahan dan akhir anak-anak terentang dari usia 5-11 tahun merupakan suatu
periode dimana anak menampilkan kemandirian, banyak bermain dengan teman sebaya
dan budaya. Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak hingga awal
dewasa yang terentang dari usia 18-22 tahun, dengan ditandai dengan perubahan
fisik, pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol, serta banyak
meluangkan waktu bersama dengan sebayanya. Tahap selanjutnya adalah dewasa yang
terbagi menjadi dewasa awal, pertengahan dan akhir. Pada masa dewasa ini
merupakan masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, karir, dan pasangan
(Santrock, 1995).
Bagi kebanyakan
orang yang sedang menuju masa dewasa serta dalam tahap perkembangan dewasa
menyatakan bahwa masa remaja adalah waktu atau suatu fase yang paling berkesan
sepanjang hidup mereka. Segala kenangan baik menyenangkan maupun tidak
dijadikan sebagai kenangan yang tidak mudah untuk dilupakan (Setiono, 2002).
Masa remaja dianggap sebagai masa dimana individu mengalami perasaan tidak aman
(feeling
of insecurity),
perubahan suasana hati, serta adanya tekanan dari teman sebaya, keluarga dan
masyarakat sekitar, namun pada masa remaja pula mereka mengembangkan persepsi
yang positif tentang diri, perasaan mampu, relasi postif dengan keluarga dan
teman, serta pandangan optimistik pada masa depan (Santrock, 1995).
Hall (sitat
dalam Santrock 1995) menyatakan pandangan badai dan stress (storm and stress
view) bahwa masa remaja merupakan
pergolakan yang penuh dengan konflik dan suasana hati. Setiono (2002)
menyatakan bahwa masalah remaja mencakup dari beberapa dimensi seperti: dimensi
kognitif, moral, psikologis dan sosial.
3. Jatuh Cinta
Jatuh cinta
didefinisikan oleh (samodra dalamhttp://www.allaboutstress.com ) sebagai sebuah rasa atau perasaan
yang dimiliki seseorang ketika melihat seseorang lain yang berbeda jenis
kelamin dengannya yang mampu menarik perhatiannya. Bila keduanya cocok maka
relasi diantara keduanya akan terbentuk.
Jatuh cinta
tidak hanya merupakan suatu respon perilaku saja, respon biologis juga
berpengaruh dan memiliki andil didalamnya. Dinyatakan sederhana oleh (Samodra
dalam http://www.allaboutstress.com ) sebagai proses dimana tubuh
memproduksi suatu zat-zat yang dianggap mampu membius otak sehingga efeknya
dapat disamakan dengan narkoba. Zat tertentu itu dinamakan feromon.
Feromon adalah
zat kimia yang didapat dari kelenjar endokrin yang digunakan makhluk hidup
sebagai pengenal sesama jenis, kelompok, individu lain dalam perannya membantu
proses reproduksi. Sedangkan feromon sendiri merupakan sinyal kimia yang ada di
udara yang tidak dapat dideteksi dengan bau namun dapat dirasakan dengan VMO
atau alat bantu penciuman yang terletak didalam hidung. Sinyal feromon ini
diterima oleh otak dibagian hipotalamus. Di dalam hipotalamuslah sinyal
tersebut diproses dan terjadi perubahan hormon yang dapat menghasilkan respon
perilaku dan fisiologis (Samodra dalamhttp://www.allaboutstress.com ).
Efek yang
terjadi adalah membuat seseorang selalu ingin bertemu dengan pasangannya
sesering mungkin dan inilah yang disebut Samodra dalam http://www.allaboutstress.com , sebagai reaksi diri terhadap
stressor. Dalam setiap reaksi menimbulkan perubahan, perubahan lain yang
terjadi antara lain peubahan pola makan, pola pikir, perbedaan detak jantung
dan juga nafas.
4.
Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi
berasal dari tiga buah disiplin ilmu yakni psikologi, neurologi, dan imunologi.
Dari ketiga disiplin ilmu ini, psikoneuroimunologi dipahami sebagai gabungan
dari ketiga disiplin ilmu sehingga mewakili setiap paradigma ilmu tersebut.
Psikoneuroimunologi merupakan ilmu yang mencoba untuk memahami sistem imun yang
ada dalam diri manusia, sistem syaraf dan psikologis atau jiwa manusia. Robert
Ader adalah tokoh yang mempopulerkan istilah Psikoneuroimunologi pada tahun
1975 dan baru bisa diterima pada tahun 2001 sebagai suatu istilah yang ilmiah
di bidang imunologi.
Ader (sitat
dalam Putra & Asnar, 2005) menyatakan bahwa psikoneuroimunologi berfokus
pada imunoregulasi yang awalnya dipahami sebagai sesuatu yang otonom, namun
setelah dilakukan banyak penelitian menemukan bahwa ternyata imunoregulasi
tidak otonom karena selalu dipengaruhi oleh kinerja otak.
BAB III
METODE
Tema dalam
penelitian ini adalah perubahan neurohormonal dengan psikoneuroimunologi, namun
penulis ingin mengaitkan perubahan neurohormonal tersebut dengan suatu keadaan
yang dialami oleh seorang dalam usia perkembangan dewasa yang dengan
karakteristiknya baik secara fisik maupun biologis mengalami perubahan.
Fenomena yang diambil adalah tentang tugas perkembangan remaja mengenai
menjalin relasi intim (teori psikososial, Erikson) yang selama ini dikaitkan
dengan keadaan yang dirasakan atau dialami saat menjalin relasi tersebut yakni
“jatuh cinta”.
Adapun kaitannya
adalah, jatuh cinta adalah adanya aspek biologis yang berperan saat seseorang
mengalami jatuh cinta sehingga menyebabkan terjadinya efek atau proses dalam
neurohormonal dalam tubuh individu, dimana aspek biologis atau keadaan biologis
dalam tubuh ini adalah respon yang sama terhadap suatu stimulus.
Dalam setiap
perubahan yang terjadi pada individu berarti akan membuat seseorang tersebut
mengalami proses adaptasi adanya perasaan yang kurang nyaman akan perubahan
yang terjadi, inilah yang diistilahkan sebagai stres karena perubahan
neurohormonal dalam penelitian ini.
BAB IV
HASIL
Adanya perubahan
pada diri akibat stimulus dari luar baik yang disadari maupun tidak disadari
dapat mempengaruhi sistem yang ada di luar dan didalam tubuh berubah. Beberapa
reaksi yang muncul pada saat seseorang jatuh cinta dianggap menyerupai saat
kita berada pada saat kondisi stres. Beberapa reaksi itu antara lain:
respon otot
dikaitkan dengan pada saat kita mengalami jatuh cinta kebanyakan wajah akan
memunculkan ekspresi gembira yang diperlihatkan dari gerakan otot wajah
tertawa, tersenyum dan bahagia.
Respon jantung
dikaitkan dengan pada saat seseorang bertemu dengan pasangannya yang berdegup
kencang saat betatap muka.
Respon kulit
dikaitkan dengan kulit sebagai media untuk mengeluarkan atau menyebarkan
feromon, selain itu keringan juga fungsinya sebagai media yang mengeluarkan
keringat. Kelenjar keringat yang terstimulasi untuk menghasilakan keringat saat
adanya perasaan grogi saat bertemu dengan pasangan (Girdano, sitat dalam
Samodra, n.d).
Menurut
penelitian helen fisher dkk (sitat dalam Samodra, n.d) menyatakan bahwa selain
respon perubahan biologis, perubahan pola makan dan istirahat juga mengalami
perubahan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa saat seseorang bertemu
dengan pasangannya dopamin akan merangsang bagian ventral tegmental dan caudate
nucleus di otak menyala. Dalam dosis yang tepat dopamin mampu mampu menciptakan
kegembiraan, kekuatan sehingga dengan keadaan demikian seseorang akan bisa
selalu merasakan cukup akan kebutuhan makan dan istirahat. Pada beberapa
artikel yang lain juga menyatakan bahwa pada saat seseorang jatuh cinta orang
yang terobsesi dengan pasangannya kadar serotonin dapat menurun atau lebih
rendah daripada serotonin pada orang normal. Serotonin yang rendah dihubungkan
dengan perilaku agresi, impulsi dan bunuh diri. Keadaan ini berkembang dengan
kecenderungan perilaku terlalu bergembira, kurang peka terhadap sekitar dan
keadaan ini terjadi secara spontan.
Keadaan “jatuh
cinta” ini dianggap sebagai stres yang memilki makna ganda pada individu yakni
positif dan negatif. Namun jika dilihat dari sisi psikologis timbulnya perasaan
gembira, senang dan menjauhkan dari pikiran negatif efek dari keadaan ini
merupakan efek yang positif. Oleh karena adanya dua efek yakni positif dan
negatif, hendaknya kedua efek ini berada pada jalur yang seimbang dengan cara
memanagenya agar tidak terlalu berlebihan atau malah kekurangan.
BAB V
PEMBAHASAN
Keadaan “jatuh
cinta” yang dialami oleh individu sesuai dengan persepsi dapat dimaknakan
sebagai sesuatu yang positif maupun negatif adalah tergantung dari individu.
Pemaknaan yang postif akan kejadian ini akan membuat seseorang memiliki respon
biologi yang mengarah pada penjagaan kondisi tubuh dan imunitas yang meningkat.
Segala respon yang dimunculkan akibat stimulus dari lingkungan ini dipersepsi
sebagai sesuatu yang positif, sehingga perasaan diri 9dilihat dari aspek
psikologi) menjadi postif dan bahagia. Keadaan bahagian ini dalam
psikoneuroimunologi dipercaya mempunyai dampak meningkatkan sistem imun dalam
tubuh kita. Dengan meningkatnya sistem imun ini maka dihubungkan dengan kesehatan
individu akan terjaga baik dengan kondisi fisik yang sehat.
Bila individu
ada yang memaknakan keadaan jatuh cinta sebagai keadaan yang positif dan
menyenangkan tidak menutup kemungkinan beberapa orang juga baranggapan keadaan
“jatuh cinta” merupakan suatu keadaan yang menekan dan menimbulkan efek
tersendiri bagi individu tersebut. Sehingga dalam respon biologisnya banyak
berefek yang kurang baik bagi tubuh, keadaan menekan, dan berdampak negatif
pada tubuh ini dalam psikoneuroimunologi dipercaya dapat menurunkan sistem imun
atau imunitas dalam tubuh menurun. Dengan menurunnya sistem imun ini, maka
kesehatan individu adalah suatu bagian yang perlu diperhatikan akan rentannnya
terserang sakit.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartono, S.
(2002). Psikologi Faal II. Surabaya: UNESA University Press
Lingga. (2006). Stres
membuat dinamika dalam hidup. Diunduh
tanggal 30 April 2008 dari http://www.percikan-iman.com/mapi/index.php?option=content&task=view&id=239&Itemid=64
Putra, S. T.,
& Asnar, E. S. T. P. (2005). Psikoneuroimunologi kedokteran : Perkembangan
konsep stress dan penggunaannya dalam paradigma psikoneuroimunologi. (Suhartono
Taat Putra, editor). Surabaya: GRAMIK
Samodra, R.
(n.d). Stress!!
I’m in love.
Diunduh tanggal 30 April 2008, dari http://all-about-stress.com/
Santrock, J.W.
(1995). Live
span development. Perkembangan masa hidup. (Achmad Chusairi, pengalih bahasa).
Jakarta: Erlangga
Ulhaq, M.Z.
(n.d). Hubungan
stress kerja dengan prestasi kerja.
Diunduh tanggak 30 April 2008, dari http://bsf.bawean.info/bsf/?p=28/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar